Baerikut ini adalah materi yang saya dapat dari kuiah di mata kuliah aspek hukum banksyariah, semoga dapat membantu. Diharapkan menabhakan sumber web ini dimana pun akan dipublishkan, baik di blog atau sebagai tugas.
A.
Penghimpunan
Bank Syari’ah.
1.
Pengertian
Penghimpunan Dana.
Bagi bank
konvensional¸ selain modal sumber dana lainnya cenderung bertujuan untuk
“menahan” uang. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan Keynes yang
mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan: transaksi,
cadangan dan investasi.
Oleh karena itu, produk penghimpunan dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi
tersebut, yaitu berupa giro, tabungan dan deposito.
Pengertian penghimpunan dana adalah
suatu kegiatan usaha yang dilakukan bank untuk mencari dana kepada pihak
deposan yang nantinya akan disalurkan kepada pihak kreditur dalam rangka
menjalankan fungsinya sebagai intermediasi antara pihak deposn dengan pihak
kreditur.
Beberapa dengan hal tersebut, bank syariah tidak
melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi
nasabahnya. Misalnya pada tabungan, beberapa melakukannya seperti giro.
Sementara itu ada pula yang melakukannya seperti deposito bahkan ada yang tidak
menyediakan produk tabungan sama sekali.
2.
Produk
dan Jenis Penghimpunan Dana di Bank Syari’ah.
Pada dasarnya, penghimpunan
dan pada bank syari’ah di bagi menjadi 2:
- Wadiah.
Wadiah dapat diartikan sebagai titipan dari satu
pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja spenyimpan menghendakinya. Tujuan dari perjanjian tersebut
adalah untukmenjaga keselamatan barang itu dari kehilangan, kemusnahan,
kecurian dan sebagainya. Yang dimaksud dengan “barang” disini adalah suatu yang
berharga seperti uang, dokumen, surat berharga dan barang lain yangberhara
disisi islam.
Adapun rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi
dengan prinsip wadiah adalah sebagai berikut :
1)
Barang yang dititipkan
2)
Orang yang menitipkan/ penitip
3)
Orang yang menrima titipan/ penerima titipan, dan
Wadiah terdiri dari dua
jenis, yaitu:
1. Wadiah Yad Al Amanah, merupakan titipan murni,
barang yang dititipkan tidak boleh digunakan (diambil manfaatnya) oleh penitip,
sewaktu titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh baik nilai maupun fisik
barangnya, jika selama dalam penitipan terjadi kerusakan maka pihak yang
menerima titipan tidak dibebani tanggung jawab, sebagai kompensasi atas
tanggung jawab pemeliharaan dapat dikenakan biaya penitipan.
2. Wadiah Yad Ad Dhamanah,
merupakan pengembangan dari Wadiah Yad Al Amanah yang disesuaikan dengan aktifitas
perekonomian. Penerima titipan diberi izin untuk menggunakan dan mengambil
manfaat dari titipan tersebut. Penyimpan mempunyai kewajiban untuk bertanggung
jawab terhadap kehilangan/ kerusakan barang tersebut. Semua keuntungan yang
diperoleh dari titipan tersebut menjadi hak penerima titipan. Sebagai imbalan
kepada pemilik barang/ dana dapat diberikan semacam insentif berupa bonus, yang
tidak disyaratkan sebelumnya.
Wadiah Yad Ad Dhamanah
dalam Bank Islam dapat diaplikasikan pada Rekening giro (current account) dan
Rekening tabungan (saving account).
1) Giro Wadiah
Giro wadiah adalah
titipan pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap
saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, kartu ATM, sarana perintah pembayaran
lainnya atau dengan cara pemindah bukuan. Termasuk di dalamnya giro wadiah yang
diblokir untuk tujuan tertentu misalnya dalam rangka escrow account, giro yang
diblokir oleh yang berwajib karena suatu perkara.
Dalam
Fatwa Dewan Syariah Nasional ditetapkan ketentuan tentang Giro Wadiah (Himpunan
Fatwa, Edisi kedua, hal 6-7) sebagai berikut:
a) Bersifat
titipan
b) Titipan
bisa diambil kapan saja (on call)
c) Tidak
ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.
Karakteristik
dari giro wadiah antara lain:
a) Harus
dikembalikan utuh seperti semula sehingga tidak boleh overdarft
b) Dapat
dikenakan biaya titipan
c) Dapat
diberikan syarat tertentu untuk keselamatan barang titipan misalnya menetapkan
saldo minimum
d) Penarikan
giro wadiah dilakukan dengan cek dan bilyet giro sesuai ketentuan yang berlaku.
e) Jenis
dan kelompok rekening sesuai dengan ketentuan yang berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan syariah
f) Dana
wadiah hanya dapat digunakan seijin penitip
2. Tabungan Wadiah
Tabungan wadiah
adalah titipan pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati dengan kuitansi, kartu ATM, sarana
perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan. Simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek
atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu.
Dalam
fatwa Dewan Syariah Nasional ditetapkan ketentuan Tabungan Wadiah sebagai
berikut:
a) Bersifat
simpanan
b) Simpanan
bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan.
Tidak
ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat
sukarela dari pihak bank.
- Mudharobah.
Dalam mengaplikasikan
prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan betindak sebagai shahibul maal
(pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan
bank untuk melakukan murabahah atau ijarah dapat pula dna tersebut digunakan
bank unuk melakukan mudharabah ke dua. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan
berdasarkn nisbah yang disepakati.
Dalam hal bank
menggunakan nya untuk melakukan mydharabah kedua, maka bank bertanggung jawab
penuh atas kerugian yang terjadi.
Rukun mudharabah
terpenuhi sempurna bila ada yaitu :
1) Ada mudharib
2) Ada pemilik dana
3) Ada usaha yang akan
dibagi hasilkan
4) Ada nisbah
5) Ada ijab
qabul
Prinsip mudharabah
ini diaplikasikan padaproduk tabungan berjangka dan deposito berjangka.
Berdasarkan
kewenangan yang diberikan oleh pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi
menjadi dua yaitu :
1)
Mudharabah Mutlaqah ( investasi
tidak terikat )
2)
Mudharabah Muqayyadah ( investasi
terikat )
- Mudharabah Mutlaqah ( investasi
tidak terikat )
Mudharabah Mutlaqah
merupakan salah satu produk dari Musyarakah, dimana dana merupakan 100 % milik
bank. dana ini dapat digunakan untuk kegiatan usaha nasabah sesuai kehendak
nasabah. Bank yang memiliki produk seperti ini harus betul-betul selektif dalam
memilik calon debitur/nasabah, karena resiko yang ditanggung bank adalah 100%
dari dana yang disalurkan. Oleh karena itu biasanya Produk Mudharabah terkait
dengan Projek-projek singkat yang berasalah dari pemerintah atau perusahaan
yang kredible dan nasabah yang kompeten dan terpercaya dalam mengerjakannya.
- Mudharabah Muqayadah
(Investasi Terikat)
Perbedaan Mudharabah
Muqayadah dengan Mutlaqah adalah disisi penggunaan dana yang diterima nasabah.
penggunaannya terikat syarat-syarat dari pemilik dana. Waktu dan jenis usaha
sudah ditentukan sebelumnya. Bank mempertemukan pemilik dana dan calon
debitur/nasabah dan memfasilitasi pencairan dana dan penerimaan angsuran modal
dan bagi hasil dari nasabah. Bank akan mendapatkan jasa/fee dari kegiatan ini
1)
Tabungan Mudharabah
Tabungan adalah simpanan yang
penrikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati,
tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dipersamakan dengan itu.
Akuntansi untuk
tabungan mudharabah dan penghimpunan dana bentuk lainnya menggunakan akad
mudharabah pada dasarnya mengacu pada PSAK 105 tentang Akuntansi Mudharabah,
khususnya yang terkait dengan akuntansi untuk pengelola dana. Berdasarkan PSAK
105 paragraf 25, dinyatakan bahwa dana yang diterima dari pemilik dana (nasabah
penabung) dalam akad mudharabah diakui sebagai dana syirkah temporer sebesar
jumlah kas atau nilai wajar aset non-kas yang diterima. Pada akhir periode
akuntansi, dana syirkah temporer diukur sebesar nilai tercatatnya.
2) Deposito mudharabah
Depisito adalah
investasi dana berdasarkan akad mudharabah yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan hanya pada waktu
tertentu berdasarkan akad antara nasabah (penyimpan) dengan bank syariah (Unit
Usaha Syariah). Perbedaannya dengan deposito konvensional adalah terlihat pada
akad dan sistem bagi hasil yang ditawarkan.
Dalam fatwa Dewan
Syariah Nasional Nomor 3 Tahun 2000, tentang deposito mudharabah yaitu :
a) Di sini nasabah
disebut sebagai pemilik dana atau shahibul maal dan bank disebut sebagai
pengelola dana atau mudharib.
b) Modal deposito yang
diberikan shahibul maal harus dalam bentuk tunai.
c) Bank sebagai mudharib
berhak lakukan berbagai usaha asalkan tidak melenceng pada prinsip syariah dan
mnembangkannya, rmasuk didalamnya mudharabah dengan pihak lain.
d) Bank menggunakan
nisbah keuntungan yang menjadi haknya untuk menutupi biaya operasional
deposito.
e) Bank tidak boleh
mengurangi nisbah keuntungan tanpa persetujuan nasabah.
f) Pembagian keuntungan
harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan
rekening’
B.
Pembiayaan
Bank Syari’ah.
1.
Pengertian
Pembiayaan Dana.
Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan
pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah kepada
nasabah. Pembiayaan secara luas berarti financing atau
pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang
telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain.
Menurut M. Syafi’I Antonio menjelaskan bahwa pembiayaan
merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas dana untuk
memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit.
Sedangkan menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan
menyatakan “Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasi”.
2.
Produk
dan Jenis Pembiayaan Dana di Bank Syari’ah.
Dalam menyalurkan
dananya pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi
kedalam empat kategori:
a.
Pembiayaan dengan prinsip jual
beli
b.
Pembiayaan dengan prinsip sewa
c.
Pembiayaan dengan prinsip bagi
hasil
Pembiayaan dengan
prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki barang, sedangkan yang menggunakan
prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan jasa. Prinsip bagi hasil digunakan
untuk kerja sama yang ditujukan guna mendapatkan barang dan jasa sekaligus.
Pada kategori
pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi
bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam
kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual beli seperti mudharabah, salam dan istisna serta produk yang menggunakan
prinsip sewa, yaitu ijarah dan IMBT.
Sedangkan pada
kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan
usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan
ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati dimuka. Produk perbankan yang
termasuk kedalam kelompok ini adalah musyarakah
dan mudharabah. Sedangkan
pembiayaan dengan akad pelengkap ditujukan untuk memperlancar pembiayaan dengan
menggunakan tiga prinsip diatas.
a.
Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya
perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan
didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk
pembayarannya dan waktu penyerahan barangnya, yakni:
1)
Pembiayaan Murabahah.
Murabahah berasal dari kata
ribhu (keuntungan) adalah transaksi
jual beli dimana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai
penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank
dari pemasok ditambah keuntungan (margin).
Kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka
waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah
disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah selalu dilakukan dengan cara
cicilan. Dalam transaksi ini barang diserahkan setelah akad, sementara
pembayaran dilakukan dengan cara cicilan.
2)
Pembiayaan Salam.
As-Salam secara bahasa memiliki
banyak arti, di antaranya adalah at-taqdîm waat-taslîm (mendahulukan
dan menyerahkan). As Salam terkadang dikenal juga dengan sebutan As
Salaf atau Pendahuluan.
Ba’i as-Salam, atau biasa disebut
dengan salam, merupakan pembelian barang yang pembayarannya dilunasi dimuka,
sedangkan penyerahan barang dilakukan di kemudian hari. Akad As-Salam
ini digunakan untuk memfasilitasi pembelian suatu barang (biasanya barang
hasil pertanian) yang memerlukan waktu untuk memproduksinya.
Dalam jual beli salam
ini, resiko terhadap barang yang diperjualnelikan masih berada pada penjual
sampai waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk meneliti dan dapat
menolak barang yang akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi
awal yang disepakati.
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan
kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada
nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang
ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan.
Dalam hal bank menjualnya secara tunai disebut pembiayaan talangan sedangkan
pembayaran secara cicilan, kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan
jangka waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah
disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini
diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditii
pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau cicilan.
Ketentuan umum pembiayaan salam
adalah sebagai berikut:
a)
Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya
secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misal jual beli
100kg mangga harum manis kualitas “A” dengan harga Rp 5000/kg akan diserahkan
pada panen dua bulan mendatang.
b)
Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai
dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggungjawabdengan cara
mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai
dengan pesanan.
c)
Mengingat bank tidak menjadikan barang yang telah dibeli atau
dipesannya sebagai persediaan maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad
salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua), seperti BULOG, pedagang pasar induk
atau rekan. Mekanisme ini disebut sebai salam paralel.
3)
Pembiayaan Istishna’.
Al-Istishna’ adalah akad jual beli
pesanan antara pihak produsen / pengrajin / penerima pesanan ( shani’) dengan
pemesan ( mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan
spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi
menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan
di muka, tengah atau akhir.
Secara umum landasan
syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’
al-istishna’. Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’ termasuk akad
yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak
penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok
kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyutui
kontrak istishna’ atas dasar istishna’.
Tujuan istishna’
umumnya diterapkan pada pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti pembangunan
proyek perumahan, komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana
jalan. Pembiayaan yang sesuai adalah pembiyaan investasi.
Cara
perhitungan Praktis Bai’ Istishna’
Seseorang
yang ingin menbangun atau merenovasi rumah dapat mengajukan permohonan dana
untuk keperluan itu dengan cara bai’ al-istishna’. Pembangunan/renovasi
rumah. Bank lalu membeli/memberikan dana, misalnya Rp30.000.000,00 secara
bertahap. Setelah rumah itu jadi, secara hukum islam rumah/atau hasil renovasi
rumah itu masih menjadi milik bank dan sampai tahap ini akad istishna’
sebenarnya telah selesai. Karena bank tidak ingin memiliki rumah tersebut, bank
menjualnya kepada nasabah dengan harga dan waktu yang di sepakati, misalnya
Rp39.000.000,00 dengan jangka waktu pembayaran 3 tahun. Dengan demikian, bank
mendapat kentungan Rp9.000.000,00.
b.
Prinsip Sewa (ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi
pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi
perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek
transaksinya adalah barang, pada ijarah objeknya adalah jasa.
Pada masa akhir sewa, Bank dapat saja menjual barang yang
disewakan kepada nasabah. Transaksi tersebut dinamakan dengan ijarah
muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan).
c.
Prinsip Bagi Hasil.
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan atas prinsip
bagi hasil adalah sebagai berikut:
a)
Pembiayaan Musyarakah
Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para
pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan niali aset yang merka miliki secara
bersama-sama. Semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana
mereka bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud
maupun tidak.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak berupa
dana, barng perdagangan, kewiraswastaan, kepandaian, peralatan, kepercayaan
dsb.
b)
Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua
pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola modal (mudharib)
dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kontribusi
100% modal kas dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib