English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selamat Datang di Website Darwis Roland Semoga Dapat Membantu Anda | Jangan Lupa Like dan Tinggalkan Kritik dan Saran Anda Pada Kotak Pesan Disamping Kanan |

Monday, 23 March 2015

Penghimpunan dan Pembiayaan Bank Syari'ah

Baerikut ini adalah materi yang saya dapat dari kuiah di mata kuliah aspek hukum banksyariah, semoga dapat membantu. Diharapkan menabhakan sumber web ini dimana pun akan dipublishkan, baik di blog atau sebagai tugas.

A.      Penghimpunan Bank Syari’ah.
1.      Pengertian Penghimpunan Dana.
Bagi bank konvensional¸ selain modal sumber dana lainnya cenderung bertujuan untuk “menahan” uang. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan: transaksi, cadangan dan investasi.[1] Oleh karena itu, produk penghimpunan dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi tersebut, yaitu berupa giro, tabungan dan deposito.
Pengertian penghimpunan dana adalah suatu kegiatan usaha yang dilakukan bank untuk mencari dana kepada pihak deposan yang nantinya akan disalurkan kepada pihak kreditur dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai intermediasi antara pihak deposn dengan pihak kreditur.
Beberapa dengan hal tersebut, bank syariah tidak melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya. Misalnya pada tabungan, beberapa melakukannya seperti giro. Sementara itu ada pula yang melakukannya seperti deposito bahkan ada yang tidak menyediakan produk tabungan sama sekali.

2.      Produk dan Jenis Penghimpunan Dana di Bank Syari’ah.
Pada dasarnya, penghimpunan dan pada bank syari’ah di bagi menjadi 2:
  1. Wadiah.
Wadiah dapat diartikan sebagai titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja spenyimpan menghendakinya. Tujuan dari perjanjian tersebut adalah untukmenjaga keselamatan barang itu dari kehilangan, kemusnahan, kecurian dan sebagainya. Yang dimaksud dengan “barang” disini adalah suatu yang berharga seperti uang, dokumen, surat berharga dan barang lain yangberhara disisi islam.
Adapun rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi dengan prinsip wadiah adalah sebagai berikut :
1)                             Barang yang dititipkan
2)                             Orang yang menitipkan/ penitip
3)                             Orang yang menrima titipan/ penerima titipan, dan
4)                             Ijab Qabul[2]

Wadiah terdiri dari dua jenis, yaitu: 
          1. Wadiah Yad Al Amanah, merupakan titipan murni, barang yang dititipkan tidak boleh digunakan (diambil manfaatnya) oleh penitip, sewaktu titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh baik nilai maupun fisik barangnya, jika selama dalam penitipan terjadi kerusakan maka pihak yang menerima titipan tidak dibebani tanggung jawab, sebagai kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan dapat dikenakan biaya penitipan. 
2. Wadiah Yad Ad Dhamanah, merupakan pengembangan dari Wadiah Yad Al Amanah yang disesuaikan dengan aktifitas perekonomian. Penerima titipan diberi izin untuk menggunakan dan mengambil manfaat dari titipan tersebut. Penyimpan mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap kehilangan/ kerusakan barang tersebut. Semua keuntungan yang diperoleh dari titipan tersebut menjadi hak penerima titipan. Sebagai imbalan kepada pemilik barang/ dana dapat diberikan semacam insentif berupa bonus, yang tidak disyaratkan sebelumnya. 
Wadiah Yad Ad Dhamanah dalam Bank Islam dapat diaplikasikan pada Rekening giro (current account) dan Rekening tabungan (saving account).
1)     Giro Wadiah
Giro wadiah adalah titipan pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, kartu ATM, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan. Termasuk di dalamnya giro wadiah yang diblokir untuk tujuan tertentu misalnya dalam rangka escrow account, giro yang diblokir oleh yang berwajib karena suatu perkara.   
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional ditetapkan ketentuan tentang Giro Wadiah (Himpunan Fatwa, Edisi kedua, hal 6-7) sebagai berikut: 
a)   Bersifat titipan 
b)   Titipan bisa diambil kapan saja (on call) 
c)   Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank. 

Karakteristik dari giro wadiah antara lain: 
a)   Harus dikembalikan utuh seperti semula sehingga tidak boleh overdarft 
b)   Dapat dikenakan biaya titipan 
c)   Dapat diberikan syarat tertentu untuk keselamatan barang titipan misalnya menetapkan saldo minimum 
d)   Penarikan giro wadiah dilakukan dengan cek dan bilyet giro sesuai ketentuan yang berlaku. 
e)   Jenis dan kelompok rekening sesuai dengan ketentuan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan syariah 
f)    Dana wadiah hanya dapat digunakan seijin penitip 

2.    Tabungan Wadiah
Tabungan wadiah adalah titipan pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati dengan kuitansi, kartu ATM, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan. Simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu.
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional ditetapkan ketentuan Tabungan Wadiah sebagai berikut: 
a)   Bersifat simpanan 
b)   Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan.
Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat sukarela dari pihak bank. 

  1. Mudharobah.
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan betindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan murabahah atau ijarah dapat pula dna tersebut digunakan bank unuk melakukan mudharabah ke dua. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkn nisbah yang disepakati.
Dalam hal bank menggunakan nya untuk melakukan mydharabah kedua, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi.
Rukun mudharabah terpenuhi sempurna bila ada yaitu :
1)   Ada mudharib
2)   Ada pemilik dana
3)   Ada usaha yang akan dibagi hasilkan
4)   Ada nisbah
5)   Ada ijab qabul
Prinsip mudharabah ini diaplikasikan padaproduk tabungan berjangka dan deposito berjangka.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi menjadi dua yaitu :
1)        Mudharabah Mutlaqah ( investasi tidak terikat )
2)        Mudharabah Muqayyadah ( investasi terikat )[3]

- Mudharabah Mutlaqah ( investasi tidak terikat )
Mudharabah Mutlaqah merupakan salah satu produk dari Musyarakah, dimana dana merupakan 100 % milik bank. dana ini dapat digunakan untuk kegiatan usaha nasabah sesuai kehendak nasabah. Bank yang memiliki produk seperti ini harus betul-betul selektif dalam memilik calon debitur/nasabah, karena resiko yang ditanggung bank adalah 100% dari dana yang disalurkan. Oleh karena itu biasanya Produk Mudharabah terkait dengan Projek-projek singkat yang berasalah dari pemerintah atau perusahaan yang kredible dan nasabah yang kompeten dan terpercaya dalam mengerjakannya.

- Mudharabah Muqayadah (Investasi Terikat)
Perbedaan Mudharabah Muqayadah dengan Mutlaqah adalah disisi penggunaan dana yang diterima nasabah. penggunaannya terikat syarat-syarat dari pemilik dana. Waktu dan jenis usaha sudah ditentukan sebelumnya. Bank mempertemukan pemilik dana dan calon debitur/nasabah dan memfasilitasi pencairan dana dan penerimaan angsuran modal dan bagi hasil dari nasabah. Bank akan mendapatkan jasa/fee dari kegiatan ini
1)   Tabungan Mudharabah
          Tabungan adalah simpanan yang penrikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dipersamakan dengan itu.
Akuntansi untuk tabungan mudharabah dan penghimpunan dana bentuk lainnya menggunakan akad mudharabah pada dasarnya mengacu pada PSAK 105 tentang Akuntansi Mudharabah, khususnya yang terkait dengan akuntansi untuk pengelola dana. Berdasarkan PSAK 105 paragraf 25, dinyatakan bahwa dana yang diterima dari pemilik dana (nasabah penabung) dalam akad mudharabah diakui sebagai dana syirkah temporer sebesar jumlah kas atau nilai wajar aset non-kas yang diterima. Pada akhir periode akuntansi, dana syirkah temporer diukur sebesar nilai tercatatnya.

2)       Deposito mudharabah
 Depisito adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan hanya pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah (penyimpan) dengan bank syariah (Unit Usaha Syariah). Perbedaannya dengan deposito konvensional adalah terlihat pada akad dan sistem bagi hasil yang ditawarkan.
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 3 Tahun 2000, tentang deposito mudharabah yaitu :
a)     Di sini nasabah disebut sebagai  pemilik dana atau shahibul maal dan bank disebut sebagai pengelola dana atau mudharib.
b)     Modal deposito yang diberikan shahibul maal harus dalam bentuk tunai.
c)     Bank sebagai mudharib berhak lakukan berbagai usaha asalkan tidak melenceng pada prinsip syariah dan mnembangkannya, rmasuk didalamnya mudharabah dengan pihak lain.
d)     Bank menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya untuk menutupi biaya operasional deposito.
e)     Bank tidak boleh mengurangi nisbah keuntungan tanpa persetujuan nasabah.
f)      Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening’

B.       Pembiayaan Bank Syari’ah.
1.         Pengertian Pembiayaan Dana.
Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah kepada nasabah. Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain[4].
Menurut M. Syafi’I Antonio menjelaskan bahwa pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit.[5]
Sedangkan menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan “Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasi”.[6]

2.        Produk dan Jenis Pembiayaan Dana di Bank Syari’ah.
Dalam menyalurkan dananya pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi kedalam empat kategori:[7]
a.       Pembiayaan dengan prinsip jual beli
b.      Pembiayaan dengan prinsip sewa
c.       Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil

Pembiayaan dengan prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki barang, sedangkan yang menggunakan prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan jasa. Prinsip bagi hasil digunakan untuk kerja sama yang ditujukan guna mendapatkan barang dan jasa sekaligus.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual beli seperti mudharabah, salam dan istisna serta produk yang menggunakan prinsip sewa, yaitu ijarah dan IMBT.
Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati dimuka. Produk perbankan yang termasuk kedalam kelompok ini adalah musyarakah dan mudharabah. Sedangkan pembiayaan dengan akad pelengkap ditujukan untuk memperlancar pembiayaan dengan menggunakan tiga prinsip diatas.


a.       Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barangnya, yakni:
1)        Pembiayaan Murabahah.
Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) adalah transaksi jual beli dimana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin).
Kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah selalu dilakukan dengan cara cicilan. Dalam transaksi ini barang diserahkan setelah akad, sementara pembayaran dilakukan dengan cara cicilan.

2)        Pembiayaan Salam.
As-Salam secara bahasa memiliki banyak arti, di antaranya adalah at-taqdîm waat-taslîm (mendahulukan dan menyerahkan). As Salam terkadang dikenal juga dengan sebutan As Salaf atau Pendahuluan.
Ba’i as-Salam, atau biasa disebut dengan salam, merupakan pembelian barang yang pembayarannya dilunasi dimuka, sedangkan penyerahan barang dilakukan di kemudian hari. Akad As-Salam ini digunakan untuk memfasilitasi pembelian suatu barang (biasanya barang hasil pertanian) yang memerlukan waktu untuk memproduksinya.[8]
Dalam jual beli salam ini, resiko terhadap barang yang diperjualnelikan masih berada pada penjual sampai waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk meneliti dan dapat menolak barang yang akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal yang disepakati.[9]
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai disebut pembiayaan talangan sedangkan pembayaran secara cicilan, kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditii pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau cicilan.
Ketentuan umum pembiayaan salam adalah sebagai berikut:
a)    Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misal jual beli 100kg mangga harum manis kualitas “A” dengan harga Rp 5000/kg akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
b)   Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggungjawabdengan cara mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
c)    Mengingat bank tidak menjadikan barang yang telah dibeli atau dipesannya sebagai persediaan maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua), seperti BULOG, pedagang pasar induk atau rekan. Mekanisme ini disebut sebai salam paralel.

3)        Pembiayaan Istishna’.
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen / pengrajin / penerima pesanan ( shani’) dengan pemesan ( mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al-istishna’. Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’  termasuk akad yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’  atas dasar istishna’.[10]
Tujuan istishna’ umumnya diterapkan pada pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti pembangunan proyek perumahan, komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana jalan. Pembiayaan yang sesuai adalah pembiyaan investasi.[11]
Cara perhitungan Praktis Bai’ Istishna’
Seseorang yang ingin menbangun atau merenovasi rumah dapat mengajukan permohonan dana untuk keperluan itu dengan cara bai’ al-istishna’. Pembangunan/renovasi rumah. Bank lalu membeli/memberikan dana, misalnya Rp30.000.000,00 secara bertahap. Setelah rumah itu jadi, secara hukum islam rumah/atau hasil renovasi rumah itu masih menjadi milik bank dan sampai tahap ini akad istishna’ sebenarnya telah selesai. Karena bank tidak ingin memiliki rumah tersebut, bank menjualnya kepada nasabah dengan harga dan waktu yang di sepakati, misalnya Rp39.000.000,00 dengan jangka waktu pembayaran 3 tahun. Dengan demikian, bank mendapat kentungan Rp9.000.000,00.[12]
b.      Prinsip Sewa (ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, pada ijarah objeknya adalah jasa.
Pada masa akhir sewa, Bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah. Transaksi tersebut dinamakan dengan ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan).
c.       Prinsip Bagi Hasil.
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil adalah sebagai berikut:
a)    Pembiayaan Musyarakah
Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan niali aset yang merka miliki secara bersama-sama. Semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak berupa dana, barng perdagangan, kewiraswastaan, kepandaian, peralatan, kepercayaan dsb.

b)   Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola modal (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kontribusi 100% modal kas dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib


[1] Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Kepraktik) (Jakarta : Gema Insan, 2001)  h 146
[2] Wiroso. Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah. (Jakarta : Grasindo.  2005). h 20.
[3] Sofyan Syafri Harapan, dkk. Akutansi Perbankan Syariah. Ed.1, Cet. 1. (Jakarta : LPFE Usakti. 2005). h 67.
[4] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2005) h 304.
[5] Syafi’I Antonio, Op. Cit, hal. 160
[6] UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, ayat 1 pasal 12.
[7] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh Dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2010) h 97
[8] Rijal Yaya, dkk.  Akuntansi Perbankan Syariah: Teori dan Praktek Kontemporer, (Jakarta: Salemba Empat, 2009), h 233.
[9] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h 90.
[10] Syafi’I Antonio, Op. Cit, h 114
[11] Ismail, Perbankan Syariah, ( Jakarta : Kencana, 2011), h 149-150  
[12] Syafi’I Antonio, Op. Cit, h 172


Tags :
Makalah pembiayaan, Pembiayaan, Makalah Penghimpunan, penghimpunan, Bank Syari'ah, Penghimpunan Bank Syariah, Pembiayaan Bank Syariah, Artikel pengimpunan bank syariah, Artikel Pembiayaan Bank Syar'ah, pengertian penghimpuanan, Pengertian Pembiayaan, Jualbeli, Akad-akad Penghimpunan, Akad-akad Pembiayaan, Bagi Hasil

re

0 comments:

Post a Comment