English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selamat Datang di Website Darwis Roland Semoga Dapat Membantu Anda | Jangan Lupa Like dan Tinggalkan Kritik dan Saran Anda Pada Kotak Pesan Disamping Kanan |

Sunday 21 December 2014

Mahkum Fih


A.                Pengertian Mahkum Fih[1].
Untuk menyebutkan istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama usul menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum fih, karena perbuatan mukallaf  itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat yang diperintahkan maupun yang dilarang.
Mahkum fih (Objek Hukum) adalah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau di biarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak[2].
Menurut ulama ushul fiqh, yang dimaksudnya dengan mahluk fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; memiliki suatu pekerjaan; dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah,sah serta batal.[3]
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yahni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf. Tersebut ditetapkanlah suatu hukum. Misalnya:


1.         Firman Allah SWT. Dalam surah Al-Baqarah : 43
      .     ........
Artinya : “Dirikanlah Sholat . . .”    QA. Al-Baqarah : 43
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf, yakni tuntunan untuk mengerjakan sholat, atau dengan kewajban mendirikan sholat.

2.         Firman Allah SWT. Dalam surah Al-An’am : 151
.............
Artinya :
“ Janganlah Kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Allah SWT melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar . . .”

QS. AL-An’am 151

Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu laranagn melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.

Dengan beberapa contoh diatas, dapat di ketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama Uasul Fiqh menetapkan bahwa “Tidak ada taklif (pembebanan hukum)melainkan terhadap perbuatan” . Kaidah tersebut telah dpastikan oleh sebagian besar ulama usul fiqih. Begitu juga hukum syara’ yang berkaitan haram dan makruh keduanya terjadi dengan perbuatan, yakni mengekang diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang haram atau yang makruh tersebut.[4]

B. Syarat – Syarat Mahkum Fih
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan beberapa pendapat tentang syarat sahnya suatu Taklif (pembebanan hukum) kepada seorang mukallaf (orang yang dibebani hukum), yaitu[5] :
1.                   Perbuatan itu sungguh-sungguh diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat menunaikan tuntutan itu sesuai dengan yang diperintahkan. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan mengapa seorang mukallaf diwajibkan untuk melakukannya. Mislanya, Seorang mukallaf tidak dituntut untuk mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan haji, melakukan jihad, berinfak dan lain lain melainkan dia telah mengetahui secara baik hukum Allah yang terkait dengan hukum-hukum tersebut. Apabila mukallaf belum mengetahui tentang hukum-hukum Allah tersebut, maka titah Allah tersebut belum terkait dengan perbuatan mukallaf.

                 Pengetahuan mukallaf terhadap hukum Allah atas suatu perbuatan harus dibarengi dengan pengetahuannya tentang rukun, syarat, dan tata cara melaksanakannya. Oleh sebab itu para ulama memberikan penjelasan bahwa nash Al Quran yang bersifat mujmal atau global tidak bisa menjadi dasar taklif sampai ada penjelasannya. Misalnya, perinta shalat dalam Surat Al Baqarah. 2:43 di atas. Seorang mukallaf baru dapat melaksanakan perintah shalat apabila rukun, syarat dan tata caranya telah diketahui.

2.                   Mukallaf harus mengetahui dengan baik sumber taklif suatu perbuatan yang akan ia lakukan. Hal ini dimaksudkan agara pelaksanannya sebagai dasar atas ketaatan dan kepatuhan terhadap Allah SWT. Tujuan mukallaf melaksanakan hukum tersebut sesuai dengan tujuan Allah dalam taklif tersebut. oleh sebab itu, para ulama fiqih senantiasa mengemukakan dalil syar’i dalam pembahasan mereka terhadap suatu hukum, sehingga dapat menjadi hujjah bagi para mukallaf untuk melaksanakan hukum dengan ketaatan dan kepatuhan. Misalnya, orang gila dan anak kecil yang belum mengetahui dan bahkan tidak mengetahui hukum atas sesuatu, mereka tidak dibebani atas perlakuan hukum tersebut. Dan hal ini berhubungan dengan pengetahuan atas kemampuan akalnya yang terkait dengan maslah baligh dan berakalnya seseorang. 

          Para ulama ushul Fiqih tidak mensyaratkan bahwa setiap mukallaf harus mengetahui secara pasti dan mandiri hukum berdasarkan dalilnya, karena hal ini akan menyebabkan sulitnya hukum itu untuk dikerjakan atau seseorang tersebut akan mencari-cari alasan keberatannya untuk melaksanakan hukum tersebut. 

3.                   Perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh Mukallaf. Akibat dari syarat ketiga ini, maka:

a. Jumhur ulama ushul fiqih menyatakan bahwa tidak boleh ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil, baik kemustahilannya itu dapat dilihat pada zatnya, maupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Kemustahilan ini bersdasarkan pada gambar eksistensi akal seperti adanya dua hukum yang bertolak belakang dalam satu taklif. Mislanya, dalam satu perbuatan ada dua ketentuan hukum pada waktu yang bersamaan dan tertuju kepada pribadi yang sama, yaitu wajib dikerjakan pada waktu yang sama dan pada saat yang sama pula haram untuk dilakerjakan. Hal seperti inilah, menurut ulama ushul fiqih tidak mungkin terjadi /mustahil.

b.  Para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifnya untuk dan atas nama orang lain, karena hal ini adalah taklif yang bukan pada dirinya. Misalnya, seseorang tidak dibebani kewajiban untuk mengerjakan shalat atas nama atau untuk saudaranya, kecuali ada sebab tertentu seperti halnya orang tua yang meninggal dunia dan dia masih memliki hutang puasa, sebagai anak darinya, kita diwajibkan untuk menggantinya. Kesimpulannya yaitu seseorang tidak dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan orang lain.

c.  Tidak sah, menurut syara’, membebankan perbuatan yang bersifat fithri’, yang manusia tidak turut ikut campur di dalamnya dan terhadap perbuatan itu manusia tidak mempunyai hak pilih (ikhtiar). Mislanya, sikap marah, benci, takut, gembira dll. Perbuatan seperti ini, menurut para ulama, bukan atas ikhtiar dan kehendak manusia maka dari itu tidak ada taklif bagi perbuatan seperti itu. 

Dari ketiga syarat tersbeut, muncul persoalan lain yang dikemukakan oleh ulama yaitu msalah masyaqqah (kesulitan) dalam taklif. Pertanyaanya adalah, apakah boleh ditetapkan taklif terhadap amalan yang mengandung musyaqqah? Dalam masalah ini para ulama ushul fiqih membagi musyaqqah tersebut dalam dua bentuk, yaitu:

1.         Musyaqqah Mu’taddah, adalah kesulitan yang bisa diatasi oleh manusia tanpa membawa kemudharatan baginya. Kesulitan seperti ini tidak dihilangkan oleh syara’ karena seluruh perbuatan amalam dalam kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. Misalnya, rasa lapar ketika berpuasa. Kesulitan seperti ini menurut ulama ushul fiqih berfungsi sebagai ujian terhadap kepatuhan dan ketaatan hamba dalam menjalankan taklif syara’. 
2.         Musyaqqah ghairu mu’taddah, adalah suatu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi oleh manusia, karena bisa mengancam jiwa, mengacaukan sistem kehidupan dan kemaslahatan bagi dirinya dan masyarakat. Dan pada umumnya kesulitan ini dapat menghalangi perbuatan yang bermanfaat. Misalnya, berpuasa siang dan malam secara terus menerus. Karena hal tersebut akan membebankan dirinya atas perbuatan yang tidak Allah perintahkan.

Alasan yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih dalam hal ini adalah[6] :
1.         Ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang menghilangkan kesulitan dan kesempitan dalam syara’. Seperti :

a.      Dalam surah Al-Hajj : 78
Artinya :
“Dan Dia sekali-kali tidak mejadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...”  QS. AL-Hajj :78

b.      Surah An-Nisa : 28
 
Artinya :
“ Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah” QS.An-Nisa : 28


2.         Dalam Hadist Rasulullah SAW, sangat banyak yang menunjukkan bahwa syari’at tidk membebani seseorang dengan berbagai kesulitan dan kesepian. Misalnya sabda Rasulullah SAW:

Artinya :
“Ambillah olehmu amalan-amalan yang mampu kamu kerjakan.”
(HR. Bukhari, Muslim, Imam Malik, Abu Daud, Al- Nasa’i dan Tirmidzi dari Aisyah)

3.         Adanya jima’ para ulama menyatakan bahwa tidak ada tuntunan syara yang menyulitkan. Jelas sekali, menunjukkan tidak adanya syari’at yang menjdiak manusia dalam keadaan sulit.


C. Macam- Macam Mahkum Fih

         Para ulama ushul Fiqih membagi Mahkum fih dari dua segi, yaitu dari segi keberadaanya secara material dan syara’, serta dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri[7].

Dari segi keberadaannya secara material dan syara’, mahkum fih terdiri atas:
1.         Perbuatan yang secara meterial ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti halnya makan, minum, tidur dll. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang eksis dilakukan mukallaf namun tidak dikategorikan dalam hukum syara’.


2.         Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinahan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syaara’ yaitu hukum qishas. 

3.         Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.

4.         Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’, serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti halnya nikah, jual beli, dan sewa menyewa. Apabila memenuhi rukun dan syaratnya perbuatan itu, masing-masing mengakibatkan munculnya hukum syara’ yang lain. Yaitu halalnya berhubungan suami istri sebab adanya pernikahan.

          Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi menjadi empat bentuk, yaitu:
1.           Semata-mata hak Allah, yaitu segala yang menyangkut kemaslahatan umum tanpa terkecuali. Menurut ulama ushul fiqih ada delapan macam yaitu :
a.      Ibadah Mahdhah/murni seperti rukun Islam yang lima.
b.      Ibadah yang mengandung makna santunan seperti zakat.
c.       Bantuan atau santunan yang bermakna ibadah, seperti zakat hasil dari bumi.
d.      Biaya atau santunan yang menandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e.       Hukuman secara sempurna dalam bebagai tindak pidana, seperti berbuat zina (dera atau rajam).
f.        Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang yang tidak diberi hak waris karena membunuh pemilik harta terseut.
g.      Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kaffarat orang yang melakukan senggama di siang hari pada bulan Ramadhan.
h.      Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam dan rampasan perang. 

2.           Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta orang yang rusak, dan lain-lain. 

3.           Kompromi antara hak allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina). Dari sisi kemaslahatan masyarakat, hak ini termasuk hak Allah, dari menghilangkan rasa malu terhadap masyarakat, ini termasuk hak pribadi seseorang. Dan menurut ulama hak ini dominan terhadap hak Allah.

4.           Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, sepeti dalam masalah qishas. Hak Allah dalam qishas tersebut berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah seseorang yang tidak halal dibunuh. Sedangkan hak pribadi hamba adalah menjamin kemaslahatan pihak ahli waris yang terbunuh. Akan tetapi dalam hal ini diserahkan pada ahli waris yang terbunuh dan mereka pun berhak menggugurkan.




[1] Rachmat Syafe’i, ilmu ushul fiqih,(Bandung:Cv Putaka Seti, 2010), hal.317
[2] Amir Syarifuddin, Ushul fiqih jilid 1, (Ciputat : Pt Logos Wacana Ilmu, 2000),hal. 350
[3] Rachmat Syafe’i, ilmu ushul fiqih,(Bandung:Cv Putaka Seti, 2010), hal.317

[4] Rachmat Syafe’i, ilmu ushul fiqih,(Bandung:Cv Putaka Seti, 2010), hal.319
[5]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul Fiqih, (Bandung : Gema Risalah Press, 1968), hlm. 219
[6] Rachmat Syafe’i, ilmu ushul fiqih,(Bandung:Cv Putaka Seti, 2010), hal.327

[7] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, (Pamulang Timur Ciputat: Logos Publishing House1996), hal. 302
re

0 comments:

Post a Comment