A.
Pengertian
Mahkum Fih[1].
Untuk
menyebutkan istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama usul
menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau peristiwa itulah ada
hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya
menggunakan istilah mahkum fih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat
yang diperintahkan maupun yang dilarang.
Mahkum
fih (Objek Hukum) adalah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk
dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau di biarkan oleh pembuat hukum
untuk dilakukan atau tidak[2].
Menurut
ulama ushul fiqh, yang dimaksudnya dengan mahluk fih adalah objek hukum, yaitu
perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan
rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan;
memiliki suatu pekerjaan; dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah,
rukhsah,sah serta batal.[3]
Para
ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yahni
perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf. Tersebut ditetapkanlah
suatu hukum. Misalnya:
1.
Firman Allah SWT. Dalam surah Al-Baqarah : 43
. ........
Artinya : “Dirikanlah Sholat . . .” QA. Al-Baqarah : 43
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang
mukalaf, yakni tuntunan untuk mengerjakan sholat, atau dengan kewajban
mendirikan sholat.
2.
Firman Allah SWT. Dalam surah Al-An’am : 151
.............
Artinya
:
“
Janganlah Kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Allah SWT melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar . . .”
QS.
AL-An’am 151
Dalam
ayat ini terkandung suatu larangan yang terait dengan perbuatan orang mukallaf,
yaitu laranagn melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
Dengan beberapa contoh diatas, dapat di ketahui bahwa
objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama Uasul
Fiqh menetapkan bahwa “Tidak ada taklif (pembebanan hukum)melainkan terhadap
perbuatan” . Kaidah tersebut telah dpastikan oleh sebagian besar ulama usul
fiqih. Begitu juga hukum syara’ yang berkaitan haram dan makruh keduanya terjadi
dengan perbuatan, yakni mengekang diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang
haram atau yang makruh tersebut.[4]
B. Syarat – Syarat Mahkum Fih
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan beberapa
pendapat tentang syarat sahnya suatu Taklif (pembebanan hukum) kepada seorang
mukallaf (orang yang dibebani hukum), yaitu[5]
:
1.
Perbuatan
itu sungguh-sungguh diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat menunaikan
tuntutan itu sesuai dengan yang diperintahkan. Hal ini berkaitan erat dengan
tujuan mengapa seorang mukallaf diwajibkan untuk melakukannya. Mislanya,
Seorang mukallaf tidak dituntut untuk mendirikan shalat, membayar zakat,
mengerjakan haji, melakukan jihad, berinfak dan lain lain melainkan dia telah
mengetahui secara baik hukum Allah yang terkait dengan hukum-hukum tersebut.
Apabila mukallaf belum mengetahui tentang hukum-hukum Allah tersebut, maka
titah Allah tersebut belum terkait dengan perbuatan mukallaf.
Pengetahuan mukallaf terhadap hukum
Allah atas suatu perbuatan harus dibarengi dengan pengetahuannya tentang rukun,
syarat, dan tata cara melaksanakannya. Oleh sebab itu para ulama memberikan
penjelasan bahwa nash Al Quran yang bersifat mujmal atau global tidak bisa
menjadi dasar taklif sampai ada penjelasannya. Misalnya, perinta shalat dalam
Surat Al Baqarah. 2:43 di atas. Seorang mukallaf baru dapat melaksanakan
perintah shalat apabila rukun, syarat dan tata caranya telah diketahui.
2.
Mukallaf
harus mengetahui dengan baik sumber taklif suatu perbuatan yang akan ia
lakukan. Hal ini dimaksudkan agara pelaksanannya sebagai dasar atas ketaatan
dan kepatuhan terhadap Allah SWT. Tujuan mukallaf melaksanakan hukum tersebut
sesuai dengan tujuan Allah dalam taklif tersebut. oleh sebab itu, para ulama
fiqih senantiasa mengemukakan dalil syar’i dalam pembahasan mereka terhadap
suatu hukum, sehingga dapat menjadi hujjah bagi para mukallaf untuk
melaksanakan hukum dengan ketaatan dan kepatuhan. Misalnya, orang gila dan anak
kecil yang belum mengetahui dan bahkan tidak mengetahui hukum atas sesuatu,
mereka tidak dibebani atas perlakuan hukum tersebut. Dan hal ini berhubungan
dengan pengetahuan atas kemampuan akalnya yang terkait dengan maslah baligh dan
berakalnya seseorang.
Para ulama ushul Fiqih tidak mensyaratkan bahwa setiap mukallaf harus mengetahui secara pasti dan mandiri hukum berdasarkan dalilnya, karena hal ini akan menyebabkan sulitnya hukum itu untuk dikerjakan atau seseorang tersebut akan mencari-cari alasan keberatannya untuk melaksanakan hukum tersebut.
3.
Perbuatan itu mungkin
dikerjakan atau ditinggalkan oleh Mukallaf. Akibat dari syarat ketiga ini,
maka:
a. Jumhur ulama ushul fiqih menyatakan bahwa tidak boleh ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil, baik kemustahilannya itu dapat dilihat pada zatnya, maupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Kemustahilan ini bersdasarkan pada gambar eksistensi akal seperti adanya dua hukum yang bertolak belakang dalam satu taklif. Mislanya, dalam satu perbuatan ada dua ketentuan hukum pada waktu yang bersamaan dan tertuju kepada pribadi yang sama, yaitu wajib dikerjakan pada waktu yang sama dan pada saat yang sama pula haram untuk dilakerjakan. Hal seperti inilah, menurut ulama ushul fiqih tidak mungkin terjadi /mustahil.
b. Para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa tidak
sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifnya untuk dan atas nama
orang lain, karena hal ini adalah taklif yang bukan pada dirinya. Misalnya,
seseorang tidak dibebani kewajiban untuk mengerjakan shalat atas nama atau
untuk saudaranya, kecuali ada sebab tertentu seperti halnya orang tua yang
meninggal dunia dan dia masih memliki hutang puasa, sebagai anak darinya, kita
diwajibkan untuk menggantinya. Kesimpulannya yaitu seseorang tidak dimintai pertanggung
jawaban atas perbuatan orang lain.
c. Tidak sah, menurut syara’, membebankan perbuatan yang bersifat fithri’, yang manusia tidak turut ikut campur di dalamnya dan terhadap perbuatan itu manusia tidak mempunyai hak pilih (ikhtiar). Mislanya, sikap marah, benci, takut, gembira dll. Perbuatan seperti ini, menurut para ulama, bukan atas ikhtiar dan kehendak manusia maka dari itu tidak ada taklif bagi perbuatan seperti itu.
c. Tidak sah, menurut syara’, membebankan perbuatan yang bersifat fithri’, yang manusia tidak turut ikut campur di dalamnya dan terhadap perbuatan itu manusia tidak mempunyai hak pilih (ikhtiar). Mislanya, sikap marah, benci, takut, gembira dll. Perbuatan seperti ini, menurut para ulama, bukan atas ikhtiar dan kehendak manusia maka dari itu tidak ada taklif bagi perbuatan seperti itu.
Dari ketiga syarat tersbeut, muncul
persoalan lain yang dikemukakan oleh ulama yaitu msalah masyaqqah (kesulitan)
dalam taklif. Pertanyaanya adalah, apakah boleh ditetapkan taklif terhadap
amalan yang mengandung musyaqqah? Dalam masalah ini para ulama ushul fiqih
membagi musyaqqah tersebut dalam dua bentuk, yaitu:
1.
Musyaqqah Mu’taddah, adalah kesulitan yang
bisa diatasi oleh manusia tanpa membawa kemudharatan baginya. Kesulitan seperti
ini tidak dihilangkan oleh syara’ karena seluruh perbuatan amalam dalam
kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. Misalnya, rasa lapar ketika
berpuasa. Kesulitan seperti ini menurut ulama ushul fiqih berfungsi sebagai
ujian terhadap kepatuhan dan ketaatan hamba dalam menjalankan taklif syara’.
2.
Musyaqqah ghairu mu’taddah, adalah suatu kesulitan yang biasanya tidak
mampu diatasi oleh manusia, karena bisa mengancam jiwa, mengacaukan sistem
kehidupan dan kemaslahatan bagi dirinya dan masyarakat. Dan pada umumnya
kesulitan ini dapat menghalangi perbuatan yang bermanfaat. Misalnya, berpuasa
siang dan malam secara terus menerus. Karena hal tersebut akan membebankan
dirinya atas perbuatan yang tidak Allah perintahkan.
Alasan yang dikemukakan oleh ulama Ushul
Fiqih dalam hal ini adalah[6] :
1.
Ayat-ayat Al-Quran
yang berbicara tentang menghilangkan kesulitan dan kesempitan dalam syara’.
Seperti :
a.
Dalam surah Al-Hajj : 78
Artinya :
“Dan Dia sekali-kali tidak mejadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...”
QS. AL-Hajj :78
b.
Surah An-Nisa : 28
Artinya :
“ Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah” QS.An-Nisa : 28
2.
Dalam Hadist
Rasulullah SAW, sangat banyak yang menunjukkan bahwa syari’at tidk membebani
seseorang dengan berbagai kesulitan dan kesepian. Misalnya sabda Rasulullah
SAW:
Artinya
:
“Ambillah olehmu amalan-amalan yang mampu kamu
kerjakan.”
(HR. Bukhari, Muslim, Imam Malik, Abu Daud,
Al- Nasa’i dan Tirmidzi dari Aisyah)
3.
Adanya jima’ para
ulama menyatakan bahwa tidak ada tuntunan syara yang menyulitkan. Jelas sekali,
menunjukkan tidak adanya syari’at yang menjdiak manusia dalam keadaan sulit.
C. Macam- Macam Mahkum Fih
Para ulama ushul Fiqih membagi Mahkum fih dari dua segi, yaitu dari segi keberadaanya secara material dan syara’, serta dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri[7].
Dari segi keberadaannya secara material
dan syara’, mahkum fih terdiri atas:
1.
Perbuatan yang secara meterial ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang
terkait dengan syara’, seperti halnya makan, minum, tidur dll.
Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang eksis dilakukan mukallaf
namun tidak dikategorikan dalam hukum syara’.
2.
Perbuatan yang secara material ada dan
menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinahan, pencurian, dan
pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syaara’ yaitu hukum
qishas.
3.
Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’
apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
4.
Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’, serta
mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti halnya nikah, jual beli,
dan sewa menyewa. Apabila memenuhi rukun dan syaratnya perbuatan itu,
masing-masing mengakibatkan munculnya hukum syara’ yang lain. Yaitu halalnya
berhubungan suami istri sebab adanya pernikahan.
Dilihat dari segi hak yang terdapat
dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi menjadi empat bentuk, yaitu:
1.
Semata-mata hak Allah, yaitu segala yang menyangkut kemaslahatan umum
tanpa terkecuali. Menurut ulama ushul fiqih ada delapan macam yaitu :
a.
Ibadah Mahdhah/murni seperti rukun Islam yang lima.
b.
Ibadah yang mengandung makna santunan seperti zakat.
c.
Bantuan atau santunan yang bermakna ibadah, seperti zakat hasil dari
bumi.
d.
Biaya atau santunan yang menandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak
bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e.
Hukuman secara sempurna dalam bebagai tindak pidana, seperti berbuat
zina (dera atau rajam).
f.
Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang yang tidak diberi hak
waris karena membunuh pemilik harta terseut.
g.
Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kaffarat orang yang
melakukan senggama di siang hari pada bulan Ramadhan.
h. Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti
kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam dan rampasan perang.
2.
Hak hamba yang terkait dengan kepentingan
pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta orang yang rusak, dan lain-lain.
3.
Kompromi antara hak allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya
lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain
berbuat zina). Dari sisi kemaslahatan masyarakat, hak ini termasuk hak Allah,
dari menghilangkan rasa malu terhadap masyarakat, ini termasuk hak pribadi
seseorang. Dan menurut ulama hak ini dominan terhadap hak Allah.
4.
Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya
lebih dominan, sepeti dalam masalah qishas. Hak Allah dalam qishas tersebut
berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah
seseorang yang tidak halal dibunuh. Sedangkan hak pribadi hamba adalah menjamin
kemaslahatan pihak ahli waris yang terbunuh. Akan tetapi dalam hal ini
diserahkan pada ahli waris yang terbunuh dan mereka pun berhak menggugurkan.
[1]
Rachmat Syafe’i, ilmu ushul fiqih,(Bandung:Cv Putaka Seti, 2010),
hal.317
[2]
Amir Syarifuddin, Ushul fiqih jilid 1, (Ciputat : Pt Logos Wacana Ilmu,
2000),hal. 350
[3]
Rachmat Syafe’i, ilmu ushul fiqih,(Bandung:Cv Putaka Seti, 2010),
hal.317
[4]
Rachmat Syafe’i, ilmu ushul fiqih,(Bandung:Cv Putaka Seti, 2010),
hal.319
[6]
Rachmat Syafe’i, ilmu ushul fiqih,(Bandung:Cv Putaka Seti, 2010), hal.327
[7] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, (Pamulang Timur
Ciputat: Logos Publishing House1996), hal. 302
0 comments:
Post a Comment