PEMBAHASAN
A.
Pengertian Asuransi Syariah.
Menurut Dr. H. Hamzah Ya’cub dalam buku Kode Etik Dagang Menurut
Islam,menyebut bahawa asuransi berasal dan dari kata dalam bahasa
Inggris insurance atau assurance yang berarti jaminan. Dalam pasal 246 Kitab Undang – undang Hukum
Dagang (KUHD) dijelaskan bahwa asuransi adalah :
“Suatu perjanjian dengan mana
seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu
premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan
atau kehilangan keuntungan yang dihaerapkan, yang mungkin akan dideritanya
kerena suatu peristiwa yang tak tertentu”.[1]
Menurut pasal 1 undang-undang no. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian,
asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima
premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung
jawab hukum pada pihak ketiga yang mungkin ada diderita tertanggung, yang
timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.[2]
Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwanya
tentang Pedoman Umum Asuransi Islam menartikan tentang asuransi sebagai berikut,
Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan menolong diantara sejulah
orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk investasi atau tabaru’ yang
memberikan pola pengemablian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad.[3]
Jadi dapat penulis simpulkan bahwa, Asuransi Syari’ah adalah asuransi yang
bersumber hukum, akad, jaminan (resiko), pengelolaan dana, investasi ,
kepemilikan, dan lain sebagainya bedasarkan atas nilai dan prinsif syari’ah.
B. Pendapat Ulama tentang Asuransi Syari’ah.
Dalam menentukan
hukum asuransi terjadi perbedaan pendapat beberapa para ulama,
perbedaan tersebut adalah :
1.
Pendapat Ulama Yang
Mengharamkan.
Yang pertama, berpendapat seperti ini adalah
Yusuf al-Qardlawi dan Isa ‘Abduh. Menurut mereka, bahwa pada asuransi yang ada
pada sekarang ini terdapat unsur-unsur yang diharamkan seperti judi,[4] karena
ketergantungan akan mengharapkan sejumlah harta tertentu seperti halnya dalam
judi. Dan juga mengandung ketidak jelasan dan ketidak pastian (jahalat dan ghoror)
dan riba.
Pendapat ini diperkuat dengan menggunakan dalil aqli dan dalil naqli,
berikut ulasanya :
a.
Secara eksplisit, hukum mengenai asuransi tidak
tertuang dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah. Namun, didalam seorang mukmin
dituntut didalam melakukan sebuah transaksi (perjanjian) tidak mengandung
sesuatu yang secara garis besar telah diharamkan di nash maupun
hadits. Selanjutnya, menurut ulama yang berpengang pada pendapat ini menemukan
bahwa asuransi sama dengan judi, karena tertanggung akan mengharapkan sejumlah
harta tertentu seperti halnya dalam judi. Oleh karena itu, dengan alasan
inilah asuransi dilarang. Seperti yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 90
yang berbunyi;
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿المائدة:٩۰﴾
Artinya
:
“Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (Al-Maidah ayat 90)
b.
Asuransi mengandung ketidak jelasan dan
ketidakpastian (jahalat dan ghoror), karena si
tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi yang telah ditentukan, sedangkan
berapa jumlah yang dibayarkan tidak jelas, lebih dari itu belum ada kepastian
apakah jumlah tertentu itu akan diberikan kepada tertanggung atau tidak. Hal
ini sangat tergantung pada kejadian yang telah ditentukan. Mungkin ia akan
seluruhnya, tapi mungkin juga tidak memperoleh sama sekali.[5]
Maka dari sini dapat di ambil
kesimpulan bahwa, didalam asuransi mengandung unsur ketidak jelasan dan
ketidakpastian. Yang mana dalam prinspi mu’amalah hal ini tidak diperbolehkan.
c.
Asuransi mengandung unsur riba, karena mungkin
tertanggung akan memperoleh sejumlah uang yang jumlahnya sama besar dari pada
premi yang dibayarnya. Sedangkan dalam islam riba telah nyata dilarang
sebagaimana dinyatakan dalam al-qur’an surat Al-Baqoroh 275:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِى يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ اللّٰـهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوٰا۟ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَانتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى اللّٰـهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لٰٓئِكَ أَصْحٰبُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خٰلِدونَ ﴿البقرة:٢٧٥﴾
Artinya :
“orang-orang yang Makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”(Al-Baqoroh 275)
Yang Kedua, Para ulama dan
pemikir islam yang menganut pandangan yang mengharamkan asuransi di antaranya
adalah Muhammad Amin Bin Umar, atau biasa dikenal dengan nama Syeikh Ibnu
Abidin, adalah salaha satu fuqaha islam dari mazhab Hanafi.[6] Dalam bukunya yang
terkenal Hasyihah Ibnu Abidin ia menyatakan bahwa “tidak diizinkan bagi para
pedagang untuk mengambil uang pengganti dari barang barang dagangannya yang telah musnah karena praktik
tersebut dianggap sesuatu yang tidak lazim ataupun wajib”. Semaentara itu ulama
lain yang lebih keras mengharamkan asuransi adalah Syeikh Muhammad Al Ghazali,
dikatakan oleh beliau bahwa konsep asuransi dikatakan haram karena beberapada
alasan, diantaranya :
a. Di akhir masa asuransi, dana asuransi akan di kembalikan beserta bunganya. Praktik ini riba dan
diharamkan. Apabila masa asuransi belum berakhir
sementara perjanjian diputuskan oleh salah satu pihak makan dan perimi akan
dikembalikan lengkap dengan berbagai pemotongan biaya administrasi. Hal ini
dilarang dalam islam karna pasti akan menimbulkan ketidak ikhlasan salah satu
pihak / tertanggung.
b. Adanya penggantian akan kerugian kepada pihak yang terjamin
tidak dapat diterima dengan syarat
islam. Karena perjanjian asuransi bukanlah kerja sama dimana terdapat
keuntungan dan kerugian. Pihak pihak lain yang juga turut memberikan dananya/ premi juga ikut
menanggung si tertanggung.
c. Perusahaan asuransi tidak pernah bebas dari bungan ataupun
kegiatan ribas lainnuya.
d. Hanya sebagian kecil yang mengikuti asuransi yang akan
merasakan asuransi tersebut. Praktik ini juga mirip dengan perjudian.
Selain
itu juga ada pandangan yang ketiga, yang setuju
pengharaman Asuransi adalah Hisan yang menyatakan bahwa dalam akad
asuransi terdapat perjanjian muawadhah
maliyah yang sangat rentan mengandung gharar,
dimana dalam perjanjian terseut terdapat pergantian uang dalam jumlah besar
dengan status gharar yang juga besar. Meskipun begitu diantara para
ulama yang mengharamkan tentang asuransi ini pandangannya dapat dibagi menjadi
dua, yaitu yang memang mengharamkan asuransi, serta pandangan yang melarang
konsep asuransi konvensional saja. Para ulama besar yang berpandangan pada
konsep yang ketiga tersebut diantaranya :
a. Qardhawi, ulama besar Al Azhar, kairo. Beliau berpendapat
bahwa berbagai praktik yang ada daam asuransi konvensional pada dasarnya bertentangan
dengan islam
b. Yafie, salah seorang
mantan Rais Am NU yang juga mantan Ketua MUI. Dalam pandangan beliau dikatakan
bahwa asuransi merupakan satu produk barat yang tidak semuanya sesuai dengan
islam, sementara asuransi dalam bentuk perusahaan tidak sesuai dengan islam
c. Para ulama dalam muktamar ekonomi islam yang diselenggaran
di Mekkah pada 1976 menyatakan bahwa
konsep asuransi konvensional pada dasarnya adalah haram dikarenakan mengandung
prinsip gharar dan riba. Karena itulah perlu adanya pengaturan secara
tersendiri dalam dunia suransi agar dapat terwujud konsep asuransi yang sesuai
dengan islam. Pandangan ini lalu dianut
oleh DSN MUI dimana akhirnya DSN MUI membuat fatwa yang berkaitan dengan
pedoman umum asuransi islam di Indonesia.
2.
Pendapat yang
Membolehkan.
Mereka yang berpendapat seperti ini adalah Musthofa Ahmad
Zarqo dan Muhammad Al-Bahi. Pendapat ini dapat
dijelaskan pada uraian berikut ini :
a. Bahwa asuransi tidak terdapat nash al-Qur’an atau hadits
yang melarang asuransi. Oleh karena itu, selama perbuatan tersebut tidak
digariskan kehalalan dan keharaman yang ada di kedua sumber tersebut, sah untuk
dilakukan. Karena menginggat prinsip dalam qawaid al-fiqhiyyah yang
berbunyi:
الاصل في المعاملات الاباحة
Artinya:
“asal hukum sesuatu didalam
hal mu’amalah adalah mubah (boleh)”
b. Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak.
Dalam istilah fiqih dikenal dengan prinsip
ان تراض منكم
(sama ridho, tidak ada keterpaksaan). Dengan
berdasarkan prinsip tersebut, transaksi asuransi menjadi sah, karena didasarkan
kesepakatan tersebut.[7]
c. Asuransi saling menguntungkan kedua belah pihak. Artinya seorang klien dan
perusahaan asuransi mendapatkan laba dari transaksi tersebut. Seorang klien
mendapatkan ganti rugi barangnya yang hilang misalnya, sedangkan perusahaan
tersebut juga mendapatkan laba dari usahannya.
d. Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul
dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan. Dengan alasan kemaslahatan
maka asuransi dapat meringgankan beban orang lain, dapat membantu golongan
orang yang lemah. Oleh karena itu, hukum asuransi menjadi mubah (boleh).
e. Asuransi termasuk akad mudharobat antara pemegang polis
dengan perusahaan asuransi.
f. Asuransi termasuk syirkat ta’awuniyat usaha bersama yang
didasarkan pada prinsip tolong menolong.
Selanjutnya yang memiliki
pendapat yang sama bahwa asuransi diperbolehkan adalah Nurul Huda dan Mohamad
Heykal dalam bukunya yang berjudul Lembaga Keuangan Islam, menggunakan landasan
hukum sebagaiberikut :
a. Al Quran.
Dalam Al Quran memang tidak pernah
dijelaskan secara utuh tentang praktik asuransi islam dan tidak ada satu ayat
yang menjelaskan tetntang ta’mim dan
takaful. Akan tetapi dalam Al Quran terdapat ayat yang memuat tentang nilai nilai asuransi
islam[8]. Nilai nilai yang diambil
dalam Al Quran antara lain :
1) Perintah Allah mempersiapkan hari depan
a) QS. Al Hasyr : 18
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ اتَّقُوا۟ اللّٰـهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا۟ اللّٰـهَ ۚ إِنَّ اللّٰـهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿الحشر:١٨﴾
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Al Hasyr : 18)
b) QS. Yusuf : 47-49
قَالَ تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدتُّمْ فَذَرُوهُ فِى سُنۢبُلِهِۦٓ إِلَّا قَلِيلًا مِّمَّا تَأْكُلُونَ ﴿يوسف:٤٧﴾ثُمَّ يَأْتِى مِنۢ بَعْدِ ذٰلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلَّا قَلِيلًا مِّمَّا تُحْصِنُونَ﴿يوسف:٤٨﴾ثُمَّ يَأْتِى مِنۢ بَعْدِ ذٰلِكَ عَامٌ فِيهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيهِ يَعْصِرُونَ ﴿يوسف:٤٩﴾
Artinya :
“Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun
(lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan
dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan”(Yusuf : 47)
Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat
sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun
sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan” (Yusuf : 48) Kemudian
setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup)
dan dimasa itu mereka memeras anggur” (Yusuf : 48).
2) Perintah untuk saling menolong dan bekerja sama
a) QS. Al Maidah : 2
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُحِلُّوا۟ شَعٰٓئِرَ اللّٰـهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْىَ وَلَا الْقَلٰٓئِدَ وَلَآ ءَآمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوٰنًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْفَاصْطَادُوا۟ ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُوا۟ ۘ وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوٰنِ ۚ وَاتَّقُوا۟ اللّٰـهَ ۖ إِنَّ اللّٰـهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿المائدة:٢﴾
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu)
kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya” (Al
Maidah : 2)
b) QS. Al Baqarah :185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللّٰـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ اللّٰـهَ عَلَىٰ مَا هَدَٮٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿البقرة:١٨٥﴾
Artinya :
“(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.” (Al
Baqarah :185)
3) Perintah Allah untuk melindungi dalam keadaan susah.
a) QS. Al Quraisy : 4
Artinya :
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk
menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Al
Quraisy : 4)
b) QS Al Baqarah : 126
وَإِذْ قَالَ إِبْرٰهِۦمُ رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُۥ مِنَ الثَّمَرٰتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُم بِاللّٰـهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ۖ قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُۥ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُۥٓ إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ ﴿البقرة:١٢٦﴾
Artinya :
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku,
jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan
hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri
kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali” (Al
Baqarah : 126)
4) Perintah Allah untuk bertawakal dan optimis dalam berusaha
a) QS. Taghabun : 11
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللّٰـهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِاللّٰـهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَاللّٰـهُ بِكُلِّشَىْءٍ عَلِيمٌ ﴿التغابن:١١﴾
Artinya :
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang
kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya
Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu” (Taghabun : 11)
b) QS. Lukman :34
إِنَّ اللّٰـهَ عِندَهُۥ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌۢ بِأَىِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللّٰـهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌۢ ﴿لقمان:٣٤﴾
Artinya :
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah
pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang
dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal” (Lukman : 34)
b. Sunah Nabi SAW.
1)
Hadits tentang aqilah
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a dia
berkata : “Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu
wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan
kematian wanita tersebut serta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari
wanita yang meninggal mengadukan kepada Rasulallah SAW, maka Rasulallah SAW memutuskan ganti
rugi pembunuhan terhadpa janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki
laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan
uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh Aqilah-nya (kerabat dari orang tua
laki-laki).” (HR. Bukhari)
Hadist tersebut
menjelaskan tentang praktik aqilah yang telah menjadi tradisi di masyarakat
arab. Aqilah dalam hadis diatas
memaknai dengan ashabah (kerabat dari
orang tua laki-laki ) yang mempunyai kewajiban menanggung denda atau diyat jika ada salah satu anggota suku
yang lain. Penanggungan bersama oelh aqilah-nya
merupakan suatu kegiatan yang mempunyai unsur seperi yang berlaku pada bisnis asuransi.
Kemiripan ini didasarkan atas adanya prinsip saling menanggung (takaful ) antar anggota suku.
2)
Hadis tentang anjuran
menghilangkan kesulitan seseorang. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., Nabi
Muhammad bersabda : “Barang siapa yang menghilangkan kesulitan duniawinya
seorang muslim, maka Allah SWT.akan menghilangkan kesulitan pada hari kiamat.
Barang siapayang mempermudah urusannya didunia dan di akhirat.” (HR. Muslim)
3)
Hadis tentang anjuran
meninggalkanahli waris yang kaya. Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad bin abi
Waqasy, telah bersabda Rasulullah SAW : “Lebih baik jika engkau meninggalkan
anak-anak kamu ( ahli waris ) dalam keadaan kaya raya, daripada meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin ( kelaparan )yang meminta-minta kepada manusia
lainnya”. ( HR. Bukhari )
4)
Hadis tentang mengurus anak
yatim ( kifl-al-yatim )Diriwayatkan dari Sabal bin Saad r.a.,. mengatakan
Rasulullah telah Bersabda : “Saya dan orang yang menanggung anak yatim nanti
akan disurga seperti ini.” Rasulullah Bersabda sambil menunjukkan jari
telunjuk dan jari yang tengah ( HR. Bukhari )
5)
Hadis tentang menghindari
resiko.
Diriwayatkan dari
Anas bin Malik r.a., bertanya seseorang kepada Rasulullah SAW. Tentang (
untanya ) : “ Apa ( Unta) ini saya ikat saja atau langsung saya bertwakal pada
(Allah SWT) ? “ Bersabda Rasulullah SAW : “ Pertama ikatlah unta itu
kemudian bertawakallah kepada Allah SWT”. ( HR. At-Tarmidzi )
6)
Hadis tentang piagam madinah.
“Dengan nama Allah
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang . Ini adalah piagam dari Muhammad, Nabi
Muhammad SAW., dikalangan mukimini dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan
Yatsrib, dan orang yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang
bersama mereka. Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia
yang lain. Kaum Muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan ( kebiasaan ) mereka,
bahu membahu membayar Diyat diantara mereka da mereka membayar tebusan tawanan
dengan cara yang adil diantara mukminin"
c.
Ijtihad
1)
Fatwa sahabat, praktik sahabat berkenaan
dengan pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh khalifah kedua,
Uman Bin Khatab mereka berkata orang-orang yang mana tercantum dalam diwan
tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk
pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunhan (tidak sengaja) yang dilakukan
oleh salah seorang anggota masyarakat mereka" Umarlah orang yang pertama
kali mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar secara profesional
perwilayah, dan orang-orang yang terdaftar diwajibkan saling menanggung beban.
2)
Ijma'
Para sahabat
telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam hal aqilah yang dilakukan oleh
khalifah Umar bin Khatab. Adanya Ijma' atau kesepakatan ini tampak dengan tidak
ada sahabat lainnya yang menentang pelaksanaan aqilah ini. Aqilah adalah iuran
darah yang dilakukan oleh keluarga dari pihak laki-laki (ashabah) dari sisi
pembunuh (orang yang menyebabkan kematian orang lain secara tidak
sewenang-wenang). Dalam hal ini kelompoklah yang menanggung pembayaran, karena
sipembunuh merupakan anggota dari kelompok tersebut. Dengan tidak adanya
sahabat yang menentang khalifah Umar r.a., bisa disimpulkan bahwa telah terdpat
ijma' dikalangan sahabat Nabi SAW mengenai persoalan ini.
3)
Qiyas
Yang dimaksud
dengan Qiyas adalah metode ijtihad dengan jalan meyamakan hukum suatu hal yang
tidak terdapat ketentuan didalam Al-Quran dan As-sunah/ Al-hadis dengan hal
lain yang hukumnya disebut dalam Al-Quran dan As-sunah/ Al-hadis karena
persamaan illat (penyebab atau alasannya).[9]
Sistem aqilah pada zaman pra-islam di qiyas-kan dengan sistem aqilah yang
diterima pada zaman Rasulullah SAW.
Adapun mekanisme
istihsan berlaku dari kebiasaan aqilah di kalangan suku arab kuno/pra islam.
Letak dari fenomena sebenarnya dari sistem ini adalah dapat mengubah dan
meminimalisasi aksi balas dendam yang berkelanjutan dimasa yang akan datang.
3. Membolehkan asuransi yang bersifat social dan
mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial.
Mereka yang
berpendapat adalah Muhammad Abu Zahrah. Berikut
Penjelasanya :
Pendapat ketiga menyatakan bahwa asuransi diperbolehkan, asal yang bersifat
social dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Dalil
yang memperkuat argument tersebut tidak jauh beda dengan yang dikemukakan oleh
kedua kelompok yang diatas, akan tetapi pendapat yang ketiga ini mengambil
jalan tengah dari kedua “perselisihan” tersebut.
Pada dasarnya, pendapat ke tiga
ini ditopang dengan argumentasi yang kemaslahatan. Bahwa didalam asuransi
terdapatkemadharatan akan tetapi disisi lain terdapat kemaslahatan yang
perlu diperhatikan. Kelompok ini membuang kemadharatan yang ada dan hanya
mengambil kemaslahatan saja.
4. Golongan keempat, adalah menyatakan bahwa
asuransi merupakan kategori syubhat sebab tidak diketemukan dalil yang
secara tegas mengharamkan dan tidak adapula yang melarangnya.
Golongan keempat menyatakan syubhat, karena tidak ada dalil-dalil syar’i
baik dalam al-qur’an maupun hadits yang secara jelas mengharamkan ataupun
menghalalkan asuransi, dan apabila hukum asuransi di kategorikan syubhat.
konsekuensinya kita dituntut bersikap hati-hati menghadapi asuransi dan kita
baru diperbolehkan mengambil asuransi, apabila kita dalam keadaan darurat (emergency)
atau hajat/kebutuhan (necessity).
C. Analisis Dalil dan
Argumentasi .
Setelah diuraikan
pendapat-pendapat para ulama beserta dalil-dalilnya. Langkah selanjutnya adalah
melakukan analisis pada dalil-dalil tersebut. Analisis ini diperlukan guna
memperoleh diantaranya dalil-dalil yang terkuat.
Langkah pertama dalam
menganalisis dalil tersebut, akan didiskukan dalil-dalil aqli terlebih dahulu
yang ada dan mencari dalil yang lebih kuat. Maka dalam hukum asuransi semua
pendapat menyatakan bahwa tidak ada dalil eksplisit dari al-Qur’an maupun
hadits, dan juga tidak ditemukan dalam kehidupan Rasulullah SAW. Namun,
pendapat ulama ada yang memperbolehkan asuransi karena dalam prakteknya
asuransi sejalan dengan nilai-nilai universal al-Qur’an seperti tolong-menolong
(ta’awun), juga termasuk dalam aqad mudharabah, dan
juga syirkah. Dan menginggat hukum asal dari mu’amalah adalah
boleh dan didukung adanya prinsip saling suka rela maka berdasarkan ini ulama
memperbolehkan adanya asuransi.
Akan tetapi, dalam prakteknya
ternyata asuransi menimbulkan beberapa masalah, dianggapnya asuransi termasuk
dalam kategori judi, ghoror dan riba. Akan
tetapi perlu diingat, penulis akan membedakan apakah asuransi termasuk dalam
kategori judi atau tidak. Selama ini yang dipahama bahwa judi karena asuransi
bertujuan mengurangi resiko (reducing of risks) dan bersifat sosial dan
membawa muslahah bagi diri dan keluarga; sedangkan judi justru
menciptakan resiko (creating of risks), tidak sosial, dan bisa membawa
malapetaka bagi yang terkait dan keluarganya. Adapun asuransi juga sebagaimana
dinyatakan dalam pendapat ulama bahwa, asuransi termasuk dalam kategori riba dan ghoror,
ini sangat dimungkinkan sekali, mengingat bahwa seorang klien diwajibkan
membayar premi setiap bulannya, dan seorang klien tidak akan mendapat uang (sebagai
ganti) jika barang yang diasuransikan tidak rusak, ataupun hilang. Maka para
ulama melarang karena dikhawatirkan terjadi hal yang demikian.
Sedangkan beberapa ulama
menyatakan asuransi dalam kategori syubhat, karena tidak jelas akan
dalil-dalilnya, hal ini mempunyai sebuah konsekuensi bahwa seseorang harus
berhati-hati menghadapi asuransi hanya dalam keadaan tertentu boleh menggunakan
asuransi seperti dalam keadaan darurat dan karena kebutuhan. Para ulama mungkin
memilih keluar dari permasalahan dengan dasar kehati-hatian.
Jika ditinjau dari segi
kemaslahatannya, asuransi dinilai mempunyai kemaslahatan bagi social,
kemaslahatan inilah yang dipergunakan dalil untuk memperbolehkan asuransi,
seperti asuransi yang digunakan oleh masyarakat umum dan asuransi seperti ini
tidak mempunyai tujuan untuk memperkaya diri sendiri akan tetapi lebih
mengutamakan kepentingan social.
Akan tetapi asuransi dalam
praktiknya oleh sebagian orang maupun lembaga digunakan sebagai alat untuk
memperkaya diri dan mengabaikan kepentingan atau kemaslahatan social. Tentu hal
inilah yang dilarang oleh Islam.
Selanjutnya, mengenai asuransi
dikatakan sebagai akad mudharabat, karena uang yang disetor
oleh klien dipergunakan sebagai usaha lain, sehingga memperoleh keuntungan.
Pada dasarnya, perlu diperhatikan terlebih dahulu akad pertama dalam asuransi
tersebut, apabila tidak terdapat akad tersebut ataupun pihak klien tidak
mengetahuinya, maka tidak sah akadnya. Kemudian, apabila terdapat akad
tersebut, dalam konsep mudharabah diharuskan adanya pembagian
laba yang rata antara kedua belah pihak, apakah hal semacam ini sudah
dilaksanakan, dalam anggapan penulis akad tersebut tidak sepenuhnya
dilaksanakan, menginggat klien yang tidak bisa membayar preminya akan hilang
atau dikurangi premi yang telah dibayarnya, hal ini tidak sejalan dengan
prinsip mudharabah.
Dan lagi, sangat besar
kemungkinan pembagian yang dilakukan oleh pihak asuransi akan tidak adil.
Disatu sisi, para pengelola mendapatkan laba yang lebih dibandingkan dari
klien, dan sebaliknya klien terkadang mendapat laba yang lebih dari pengelola.
Dikarenakan, dalam prakteknya terkadang seorang klien yang sangat hati-hati
menjaga barangnya, sehingga tidak terjadi apa-apa, maka klien tersebut tidak
dapat menerima uang ganti, dan seterusnya.
D.
Pendapat Terpilih.
Setelah melakukan analisis
terhadap dalil-dalil dan argument para ulama, tahap selanjutnya adalah
menentukan pendapat yang terkuat dan didukung oleh argument dan dalil yang
shohih. Tentu dalil yang dihasilkan setelah dilakukannya munakosah
al-adillat.
Penulis dalam memilih pendapat
ini didasarkan atas kemaslahatan, artinya pendapat mana yang lebih membawa
kemaslahatan itulah yang dipakai, akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa
kemaslahatan disini adalah kemaslahatan yang dianggap benar oleh syariat.
Setelah melakukan analisis, maka
penulis berkesimpulan bahwa asuransi termasuk dalam kategori mu’amalah yang mubah, kecuali
apabila terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh syariat. Karena menginggat
tidak ada dalil dari al-Qur’an dan hadits yang melarangnya. Selanjuntya,
terkait dengan maslahah, agaknya perlu dipertanyakan terlebih
dahulu, dalam arti apakah kriteria penggunaan kemaslahatan sebagai
dasar penetapan hukum sudah terpenuhi? Sampai saat ini, penulis masih
berkesimpulan bahwa, asuransi adalah bentuk mu’amalah yang dapat dirasakan
kemaslahatannya oleh masyarakat dan mengandung nilai-nilai ajaran al-Qur’an
yaitu ta’awanu ala al-birri. Sedangkan prinsip kemaslahatan
yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum adalah kemaslahatan yang sudah
pasti, bukan asumtif, dan hipotetif yang berlaku secara umum.
Kesimpulannya, bahwa sebatas
asuransi hanya ada manfaatnya bagi orang lain. Karena permasalahannya boleh
jadi, maslahat bagi orang satu belum tentu maslahat bagi orang lain. Oleh
karena itu, penulis lebih cenderung berpegang pada pendapat ketiga yang
dikemukakan oleh Abu Zahrah, bahwa asuransi diperbolehkan asal bersifat social
dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersiat.
[1] M.
Solahudin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam,
(Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2006), h. 127.
[2] Heri
sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,
cet 2, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), h. 112
[3] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan
Islam:Tinjauan Teoristis dan Praktis, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 155
[4] Nahdhatul Ulama, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam;
Keputusan Muktamar, Munas dan Kombes NU dari tahun 1926-1999, (Surabaya: Diantama, 2004),
h. 307-311
[5] Antonio,
Syafi’i. EPILOG: Buku Asuransi
Syariah (Life & General) Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta : Gema
Insan,2004) h. 98
[9] Hasan Ali, Asuransi
dalam Presfektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teorstis, &
praktis(Jakarta : Prenada Media, 2004), h. 120
0 comments:
Post a Comment